DANA (Depresi Terisolasi Tingkat Tinggi) yang terjadi baru-baru ini yang berdampak pada Komunitas Valencia meninggalkan jejak kerusakan dan ketidakpuasan yang nyata di kalangan masyarakat. Sebuah video di TikTokdibintangi oleh seorang warga Valencia bernama Carlos, film tersebut menimbulkan dampak buruk di media sosial ketika ia mengecam salah satu adegan paling mengejutkan setelah badai: rak-rak supermarket yang kosong. Pesannya menjadi gaung kemarahan banyak orang, yang mengkritik perilaku egois sejumlah warga di saat krisis.
Carlos memulai ceritanya dengan campuran rasa frustrasi dan ketidakpercayaan. Malam sebelumnya, ketika mencoba menyelamatkan rumahnya dari banjir, dia menerima gambar dari temannya yang menunjukkan supermarket terjual habis. Alasan histeria kolektif ini: pengumuman kemungkinan terputusnya pasokan air. Kenyataannya adalah bahwa pemotongan tersebut hanya akan berlangsung singkat, namun hal ini tidak menghentikan orang-orang untuk bergegas ke supermarket untuk mencari air kemasan, dan menimbunnya dalam jumlah yang berlebihan.
Video Carlos menjadi seruan keputusasaan atas apa yang dianggapnya kurang empati. Ingat bagaimana situasi serupa dialami selama pandemi, dengan pembelian tisu toilet yang berlebihan.
“Orang-orang merasa sakit,” katanya, mengacu pada kepanikan yang ditimbulkan oleh ketakutan akan kehabisan sumber daya, bahkan untuk beberapa jam. Pesannya jelas: masyarakat ini menjadi egois dan apatis, mengutamakan kepentingan pribadi di atas kesejahteraan umum.
Keluhan seorang Valencia
Kemarahan Carlos bukan hanya pada situasi saat ini, tapi juga pada visinya tentang apa yang bisa terjadi dalam krisis nyata. “Jika suatu saat terjadi sesuatu yang serius, masyarakatlah yang akan menghancurkan kami”, kenangnya.
Komentar ini sangat bergema, karena mengungkapkan kerapuhan hidup berdampingan kita di saat-saat kritis. Kurangnya empati dapat menyebabkan dekomposisi sosial, dimana naluri bertahan hidup lebih diutamakan daripada pertimbangan terhadap orang lain.
Dalam ceritanya, Carlos menyebut orang-orang terdekatnya yang mengalami kerugian cukup besar akibat banjir. “Bayangkan orang-orang itu harus pergi berbelanja dan mereka tiba dan mereka tidak punya air karena ada orang bodoh yang mengambil semua air yang mereka punya,” katanya dengan marah. Komentar ini menyoroti tragedi ganda: bukan hanya mereka yang kehilangan harta benda yang menderita, namun mereka juga menghadapi ketidakpedulian dari mereka yang mengumpulkan sumber daya tanpa memikirkan orang lain.
Kritik Carlos lebih dari sekedar mengecam penumpukan air. Yang sebenarnya dipertaruhkan adalah pertanyaan mendalam mengenai kapasitas solidaritas dan empati kita dalam situasi sulit. Sejauh mana kita bersedia mengorbankan kesejahteraan orang lain demi keselamatan diri kita sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah mudah dan refleksinya mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana tindakan kita dapat berdampak pada masyarakat secara keseluruhan.
Apa yang terjadi di supermarket
Saat video Carlos menjadi viral, banyak pengguna berbagi pengalaman dan perasaan serupa. Kemarahan sangat jelas dan banyak yang merasa terwakili oleh kata-kata mereka. Komunitas bersatu dalam mengkritik mereka yang, bukannya membantu, malah menjadi pesaing dalam permainan kelangkaan. Kurangnya rasa hormat terhadap sesama merupakan cerminan budaya yang pada saat krisis terkesan melupakan hal paling mendasar: solidaritas.
Kesimpulannya, keluhan Carlos merupakan seruan untuk refleksi. Hal ini mengingatkan kita bahwa, di saat-saat sulit, penting untuk menjaga rasa kemanusiaan dan empati. Gambaran rak-rak yang kosong tidak hanya mewakili kurangnya pasokan, namun juga merupakan gejala masyarakat yang harus mengevaluasi kembali nilai-nilainya. Kekuatan sejati suatu komunitas tidak diukur dari jumlah kendi air yang terkumpul, namun dari kemampuan merawat dan melindungi setiap anggotanya.