Sungai Krisis – Ditulis oleh Dakuku Peterside

Krisis ekonomi yang sedang berlangsung telah menjangkau seluruh pelosok negeri, berdampak pada masyarakat kaya dan miskin, baik penduduk perkotaan maupun pedesaan. Dengan tingkat inflasi yang meningkat menjadi sekitar 33% pada Agustus 2024, biaya hidup meningkat drastis. Harga pangan saja telah meningkat lebih dari 30%, yang memberikan tekanan signifikan terhadap pendapatan rumah tangga. Keluarga-keluarga yang sebelumnya mampu bertahan kini kesulitan menyediakan kebutuhan seperti makanan, bahan bakar, dan layanan kesehatan.

Ini bukanlah krisis yang bisa kita abaikan.

Banyak warga Nigeria yang merasa bahwa pemerintah mereka, di tingkat lokal dan negara bagian, justru merugikan mereka dan bukannya menguntungkan mereka. Instansi pemerintah, lembaga penegak hukum, dan kantor pajak sering kali dipandang penuh dengan ketidakmampuan dan penyuapan. Hal ini membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih sulit bagi warga negara biasa, yang harus terus-menerus menghadapi rintangan birokrasi. Rata-rata masyarakatlah yang menanggung beban terbesar dari kelemahan sistemis ini.

Di tengah krisis ini, demokrasi di Nigeria sendiri sedang terancam. Kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi dengan cepat terkikis. Ketika sistem ekonomi, pemerintahan, dan keamanan gagal, kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan menikmati hak-hak dasar yang dijanjikan oleh demokrasi akan sangat terhambat. Hal ini paling jelas terlihat di Negara Bagian Rivers, sebuah wilayah yang krisis politiknya telah menjadi ancaman besar bagi demokrasi Nigeria.

Meskipun terdapat banyak upaya untuk menstabilkan situasi, krisis ini semakin memburuk dan meningkatkan kekhawatiran nasional. Karena sumber daya minyak dan lokasi geografisnya, Negara Bagian Rivers, salah satu negara bagian paling strategis di Nigeria, telah menjadi titik fokus konflik politik. Gejolak politik di negara bagian ini mempunyai konsekuensi yang luas terhadap kesehatan demokrasi di Nigeria, karena ketidakstabilan di salah satu negara bagian yang paling penting secara ekonomi ini mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh lanskap politik yang lebih luas.

Upaya para pemimpin politik dan mediator untuk menyelesaikan krisis di Rivers sejauh ini terbukti tidak berhasil. Negara ini selalu mengalami ketegangan yang tinggi, sehingga berpotensi menjadi medan pertempuran kekerasan. Situasi ini menjadi sangat mengkhawatirkan sehingga para pendukung demokrasi di seluruh Nigeria khawatir akan dampak buruk krisis ini secara nasional. Jika tidak diselesaikan, kerusuhan di Rivers dapat merusak fondasi demokrasi di Nigeria dan berpotensi menimbulkan kekerasan.

Salah satu alasan utama mengapa krisis ini menjadi ancaman serius adalah dampaknya terhadap lembaga-lembaga demokrasi. Badan peradilan, polisi dan keamanan, yang seharusnya menegakkan supremasi hukum dan melindungi warga negara, berada di bawah pengawasan ketat selama krisis Rivers. Secara khusus, lembaga peradilan dituduh dipengaruhi secara politik, sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap ketidakberpihakannya. Di Rivers, putusan pengadilan yang bertentangan telah mengikis kepercayaan terhadap sistem peradilan. Manipulasi hasil hukum ini menimbulkan kekhawatiran besar mengenai masa depan demokrasi di negara bagian ini, dan juga di negara ini.

Demikian pula, kita tidak bisa mengabaikan peran media dalam membentuk persepsi publik dan potensi dampaknya terhadap krisis ini. Media, yang sering dituduh bias dan sensasionalisme, dapat meningkatkan atau meredakan krisis melalui liputannya. Pengaruhnya terhadap opini publik dapat mengipasi atau memadamkan api perselisihan politik. Persepsi ini melemahkan kredibilitas lembaga-lembaga tersebut, dan menjadikan mereka tampak sebagai alat yang berada di tangan elit politik dan bukan pembela keselamatan masyarakat.

Sikap Polisi Nigeria terhadap krisis Sungai telah meningkatkan potensi kekerasan, karena masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan polisi untuk menjadi lembaga penegakan hukum yang tidak memihak. Persepsi masyarakat adalah bahwa Kepolisian Nigeria merupakan partisipan aktif dalam krisis ini.

Dampak krisis ini tidak terbatas pada Rivers State saja. Hal ini juga mempunyai dampak yang lebih luas terhadap pemerintahan nasional, khususnya lembaga legislatif dan eksekutif. Banyak warga Nigeria kini meragukan kemampuan pemerintah federal untuk campur tangan dan memulihkan ketertiban di negara bagian tersebut. Partai Demokrat Rakyat, partai oposisi utama Nigeria, juga merasakan tekanan. Karena semua aktor utama mengakui afiliasinya dengan partai tersebut, ketidakmampuan partai tersebut menyelesaikan gejolak politik di Rivers semakin merusak citra publiknya. HDP, yang sudah dipandang oleh banyak orang sebagai oposisi yang tidak efektif, berisiko kehilangan kepercayaan publik jika krisis terus berlanjut. Jajak pendapat publik pada tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 34% masyarakat Nigeria yang mempercayai PDP, dibandingkan dengan 42% pada tahun 2021. Perpecahan internal dalam partai, yang diperburuk oleh konflik di Rivers, mengancam perpecahan lebih lanjut, yang dapat melemahkan proses demokrasi di Nigeria. .

Inti dari krisis Rivers State adalah perebutan kekuasaan yang sengit untuk menguasai sumber daya negara yang sangat besar dan entitas misterius yang kurang dikenal yang disebut “struktur politik”. Sayangnya, alih-alih berfokus pada pembangunan negara dan kesejahteraan rakyatnya, para aktor politik di Rivers lebih mementingkan keuntungan pribadi. Persaingan ketat untuk mendapatkan dominasi politik menyebabkan kekerasan, ketidakstabilan, dan pengabaian potensi ekonomi negara. Meskipun merupakan salah satu negara bagian Nigeria yang kaya akan sumber daya, Rivers masih terbelakang, dengan infrastruktur yang tidak memadai dan tingkat pengangguran yang tinggi. Pada tahun 2023, pengangguran di negara ini diperkirakan mencapai 33%, yang mencerminkan kegagalan pemerintahan berturut-turut dalam sepuluh tahun terakhir dalam menerjemahkan sumber daya alam mereka menjadi manfaat nyata bagi warganya.

Ada beberapa faktor yang memperparah krisis ini, termasuk bentrokan ego pribadi di antara para aktor politik, rasa adanya hak imperial di kalangan elit, dan sifat agresif dari wacana politik di negara tersebut. Tokoh-tokoh politik Rivers sering kali terlibat dalam retorika yang menghasut dan tidak terlalu tertarik pada diplomasi atau wacana sipil, yang tidak mewakili orang-orang Rivers yang sopan dan terhormat. Komunikasi beracun ini hanya memperdalam perpecahan dan mempersulit penyelesaian. Namun, ada solusi potensial untuk krisis ini. Dialog, kompromi, aksi warga, dan fokus pada kebaikan bersama dapat membantu menjembatani kesenjangan politik. Penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersatu melawan krisis ini dan mengesampingkan ambisi pribadi demi kebaikan bersama. Tak satu pun dari aktor tersebut boleh mengambil peran sebagai kaisar tertinggi di Negara Bagian Rivers. Itu hanya akan menyebabkan kehancuran diri sendiri.

Krisis politik yang dihadapi Rivers saat ini memiliki kemiripan dengan peristiwa yang terjadi di Nigeria bagian barat pada awal tahun 1960an. Dikenal sebagai “Era Wild West”, periode ketidakstabilan politik, kekerasan dan pelanggaran hukum mencapai puncaknya dengan kudeta militer pertama di Nigeria pada tahun 1966. Krisis di Nigeria bagian barat menunjukkan bagaimana impunitas politik dan kekerasan yang tidak terkendali dapat mengancam tatanan Demokrasi itu sendiri. Banyak pihak khawatir bahwa hal serupa akan terjadi di Rivers jika partai politik yang terlibat tidak mengubah arah. Kegagalan untuk belajar dari sejarah dapat mengubah Rivers State menjadi bom waktu yang mengancam masa depan demokrasi negara tersebut.

Demokrasi tumbuh subur di bawah lembaga-lembaga yang tetap netral dan kuat, namun perkembangan di Rivers State mengancam lembaga-lembaga penting seperti lembaga keamanan dan peradilan. Aparat keamanan, khususnya polisi, dituduh bersekutu dengan faksi politik, sehingga menyebabkan terkikisnya kepercayaan masyarakat dan meningkatnya kekerasan. Mantan Presiden Goodluck Jonathan telah menyatakan keprihatinannya bahwa keputusan pengadilan yang bertentangan mengenai masalah politik mengikis kepercayaan terhadap sistem peradilan. Ketua Hakim Nigeria dan Dewan Kehakiman Nasional harus turun tangan untuk menyelamatkan sistem peradilan dari kehancuran yang disebabkan oleh krisis Rivers.

Adalah tugas Gubernur Seminyak Phuppara untuk membimbing Rivers menuju stabilitas. Sejak dia terpilih untuk memerintah, dia bertanggung jawab memimpin pembangunan negara dan harus diizinkan untuk memberikan kepemimpinan. Kegagalannya memenuhi tanggung jawab kepemimpinan ini akan mencoreng warisannya. Mantan Gubernur Nyesom Wike, yang kini menjabat Menteri Wilayah Ibu Kota Federal (FCT), harus fokus pada peran barunya dan membiarkan gubernur saat ini mengatasi tantangan yang dihadapi Rivers.

Sebagaimana telah ditunjukkan oleh sejarah, kekerasan bukanlah solusi terhadap permasalahan demokrasi. Pembakaran sekretariat daerah dan tindakan kekerasan lainnya merupakan pelanggaran terhadap supremasi hukum. Tindakan seperti ini merugikan reputasi negara, menghambat pembangunan, dan melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri. Para pemain politik harus menyadari bahwa swadaya dan kekerasan adalah kontraproduktif dalam menyelesaikan tantangan demokrasi. Inspektur Jenderal Polisi harus hidup di atas segalanya dan bertindak sesuai semangat dan hukum untuk melindungi nyawa dan harta benda.

Para pemimpin politik yang terlibat dalam krisis Rivers harus segera menahan diri dan mengambil tanggung jawab. Masyarakat Rivers berhak mendapatkan istirahat dari kekacauan dan konflik terus-menerus yang melanda negara mereka. Masyarakat Rivers yang paling terkena dampak krisis ini harus bangkit, mendorong diskusi, mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap politisi yang tidak bertanggung jawab, dan menuntut perilaku yang baik.

Sebagai pemangku kepentingan dalam politik Rivers dan perkembangannya, adalah kewajiban moral saya untuk bersuara. Diam bukan lagi sebuah pilihan dalam menghadapi kehancuran yang meluas dan pelanggaran hukum.

Saya menahan diri untuk tidak mengomentari krisis ini selama hampir satu tahun, dan berharap alasan tersebut bisa menjadi alasan. Namun, sudah jelas bahwa tanpa suara kuat yang membela nilai-nilai demokrasi, negara ini berisiko semakin terperosok ke dalam ketidakstabilan. Para intelektual dan pemimpin pemikiran lainnya harus melangkah maju untuk memberikan wacana yang masuk akal dan membantu membimbing negara melewati masa-masa sulit ini. Sungai-sungai berisiko mengalami kekacauan jika tidak ada suara-suara tersebut, dan demokrasi Nigeria yang rapuh pun bisa terancam.

Sumber