Perekonomian peretasan India akan mencapai Rs 224 miliar pada tahun 2023: laporan EY-IAMAI

Pembajakan meningkat di India, dengan perekonomian pembajakan di negara tersebut menyentuh Rs. 224 miliar pada tahun 2023, menurut laporan EY dan Internet and Mobile Association of India (IAMAI). Laporan bertajuk The Rob Report mencatat, Rp 137 miliar dari jumlah tersebut berasal dari konten bioskop bajakan, sedangkan Rp 87 miliar dihasilkan dari konten platform OTT yang tidak sah. Meningkatnya pembajakan merupakan kekhawatiran utama bagi industri media dan hiburan. Mereka bertemu beberapa

Tren pembajakan dan preferensi pemirsa

Peningkatan minat masyarakat India terhadap konten bajakan terlihat jelas, dengan rata-rata sembilan jam per minggu dihabiskan untuk mengonsumsi media bajakan. Platform streaming adalah sumber konten ilegal terbesar, yaitu sebesar 63 persen, diikuti oleh aplikasi seluler sebesar 16 persen, dan torrent serta akun media sosial sebesar 21 persen. 51% konsumen media India menggunakan sumber bajakan, dan 76% di antaranya berada pada kelompok usia 19-34 tahun. Meskipun laki-laki biasanya lebih menyukai film-film lama, perempuan lebih condong ke konten OTT. Bahasa Hindi dan Inggris adalah bahasa yang paling banyak dibajak, masing-masing menyumbang 40 persen dan 31 persen konten.

Ada berbagai alasan mengapa orang beralih ke konten bajakan, termasuk biaya berlangganan yang tinggi, kerumitan mengelola banyak akun, dan tidak tersedianya konten tertentu secara online. Banyak juga yang menghindari membayar tiket bioskop atau berlangganan layanan OTT.

Kekhawatiran industri dan seruan untuk bertindak

Rohit Jain, Ketua Komite Hiburan Digital, IAMAI, memperingatkan bahwa pembajakan mengurangi potensi sektor hiburan India, yang diperkirakan mencapai Rs 146 crore. Mukul Shrivastava, Mitra di Layanan Forensik dan Integritas EY, menyerukan solusi teknologi dan penegakan hukum yang lebih kuat untuk mengatasi peretasan, dan mendesak pemangku kepentingan industri untuk bersatu dalam perjuangan ini. Dengan banyaknya konten bajakan yang dikonsumsi di kota-kota tingkat II, permasalahan seperti kesenjangan pendapatan dan terbatasnya akses terhadap konten resmi juga menjadi faktor penyebabnya.

Sumber