Pembunuhan Yahya Simwar, pemimpin Hamas di Gaza baru-baru ini, memicu serangkaian analisis tentang kemungkinan dampaknya terhadap konflik Israel-Palestina. Mikel Ayestarán, seorang jurnalis di bidang tersebut, berbagi perspektifnya dengan Ángel Expósito di La Linterna, membahas bagaimana peristiwa ini akan berdampak pada strategi Israel dan dinamika internal Hamas.
Tersingkirnya Simwar dianggap sebagai “pukulan keras bagi Hamas”, menurut Ayestarán. Pemimpin ini, yang mewakili sayap paling keras dalam gerakan ini, dipandang sebagai salah satu hambatan utama dalam mencapai kesepakatan di Gaza. Kematiannya dapat membuka pintu bagi kemungkinan-kemungkinan baru untuk berdialog, meskipun hal ini juga menimbulkan risiko ketidakstabilan internal di dalam Hamas.
“Salah satu orang yang bertanggung jawab atas tidak adanya gencatan senjata telah disingkirkan dari lokasi tersebut,” jelas Ayestarán, seraya menyatakan bahwa hilangnya orang tersebut dapat mengubah negosiasi di masa depan dan mungkin memfasilitasi pertukaran tahanan. Situasi saat ini membuat Hamas berada di persimpangan jalan.
Organisasi ini mendapati dirinya tidak memiliki pemimpin yang kuat dan perlu menemukan wajah baru untuk menyatukan jajarannya. Ayestarán menyebutkan bahwa pergantian kepemimpinan sedang “direncanakan” dan ada spekulasi mengenai apakah para pemimpin asing, terutama dari Qatar, dapat mengambil peran yang lebih besar. Transisi ini dapat memicu konfigurasi ulang strategi Hamas, namun masa depannya masih belum pasti.
Langkah Israel selanjutnya
Dengan jatuhnya Simwar, Israel menghadapi sebuah peluang, namun juga tantangan. Ayestaran menyebutkan bahwa Netanyahu telah mencari “foto kemenangan” sejak serangan 7 Oktober, dan kini ia memilikinya. Tersingkirnya Simwar tidak hanya mewakili kemenangan simbolis namun juga deklarasi kekuatan Israel.
Namun, keberhasilan ini tidak akan bertahan lama jika kepemimpinan baru Hamas terbukti lebih radikal atau agresif. Catatan sejarah menunjukkan bahwa tersingkirnya para pemimpin Hamas tidak berarti berkurangnya kekerasan. Selama bertahun-tahun, Israel telah membunuh banyak pemimpin gerakan tersebut, namun seringkali muncul penerus yang terbukti lebih radikal.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang bisa menjadi target berikutnya dalam daftar Israel. Ayestarán menyebut saudara laki-laki Simwar sebagai tokoh terkemuka yang dapat mengambil peran kepemimpinan dalam organisasi, yang dapat semakin memperumit situasi.
Pertanyaan yang banyak ditanyakan adalah apakah Israel akan mengurangi jumlah operasi setelah tersingkirnya Simwar. Meskipun tampaknya logis untuk mengambil langkah mundur, kenyataannya adalah bahwa struktur Hamas dan kemungkinan munculnya kepemimpinan radikal baru dapat mendorong Israel untuk melanjutkan tindakan ofensifnya.
Hamas
Ayestarán menekankan bahwa, secara historis, Israel telah melenyapkan para pemimpin Hamas dan Hizbullah, namun hal ini tidak menghasilkan perdamaian abadi, melainkan justru melanggengkan siklus kekerasan. Dalam hal ini, penghapusan Simwar dapat dilihat sebagai kemenangan jangka pendek, namun ketidakstabilan yang ditimbulkannya di Gaza merupakan sebuah dilema.
Jika Hamas melakukan reorganisasi di bawah kepemimpinan yang lebih ekstremis, Israel mungkin terpaksa meningkatkan operasinya untuk memerangi ancaman baru tersebut. Tersingkirnya Simwar dapat membuka peluang baru untuk berdialog, namun hal ini akan sangat bergantung pada bagaimana Hamas merespons dan siapa yang mengambil kepemimpinan.